FEATURE

Suprapto dan Sebotol Parfum Gaharu


KBRN, Lubuk Pabrik; Bermula dari keluar masuk hutan, kala itu sekitar tahun 80-an. Ekosistem hutan pun saat itu penuh dengan keaneragaman hayati yang begitu terasa alami, mulai dari tumbuh bebasnya berbagai jenis tanaman dan satwa, hingga hubungan timbal balik pun begitu tak terpisahkan antara makhluk hidup dan lingkungannya
Dari jenis tanaman hutan ketika itu tersebutlah satu pohon keras tumbuh alami nyaris tak dilirik oleh sebagian masyarakat khususnya yang bertempat tinggal di sekitar hutan Desa Lubuk Pabrik Kecamatan Lubuk Besar Kabupaten Bangka Tengah. Pohon keras itu adalah gaharu. Pohon ini nyatanya memiliki ke khasan, dan kemudian memiliki nilai ekonomis bagi yang mau memanfaatkannya.
Dalam pilar pemanfaatan konservasi hutan, sekitar tahun 1983, kala itu sosok warga Desa Lubuk Pabrik Suprapto memulainya dengan memanfaatkan gaharu alam,  yang bilah-bilah ranting atau bongkahan kayunya digunakan sebagai dupa yakni  salah satu kelengkapan ritual sembahyang umat Konghuchu yang bila selempeng gaharu itu dibakar maka asap yang mengepulnya menebarkan harum mewangi, tercium dalam ruang rumah peribadatan Kelenteng.
Ibarat peribahasa, Berakit-rakit ke hulu, berenang ketepian;  Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Begitulah yang dirasakan Suprapto hingga selama tiga dasa warsa lebih sekarang ini, dia menuai sisi ekonomis pohon gaharu.
Ketekunan Suprapto yang dimulainya di tahun 1983 itu hari demi hari  dilaluinya hingga tahun berganti tahun, nyatanya manfaat gaharu itu bagai nafas kehidupan dan mengeksiskan warga Lubuk Pabrik itu hingga di ketuaan usianya sekarang masih memetik keuntungan  dari nilai ekonomis gaharu. Tidak sekedar itu langkah Suprapto pun diikuti oleh warga lainnya, bahkan gaharu saat ini menjadi salah satu jenis tanaman yang dibudidayakan di masyarakat Desa Lubuk Pabrik dan lima kecamatan lainnya di Bangka Tengah. Kecamatan; Sungai Selan, Koba, Namang, Pangkalan Baru dan Kecamatan Simpang Katis. Tidak semua daerah di Bangka Belitung membudidayakan pohon gaharu. Namun di wilayah  Bangka Tengah saat ini hampir 400 ribu pohon gaharu merupakan hasil budi daya.
"Bagi saya sih gaharu itu memang sudah tak bisa dipisahkan dari kami. Di Desa Lubuk Pabrik ini gaharu digemari, membudaya dan itu kami kelola, hasilnya bisalah menopang ekonomi keluarga dan memang kita kelola untuk generasi penerus," tutur Suprapto ketika mengisahkan pengalamannya.
Lewat pengolahan gaharu yang terus dilakukannya,  ternyata melambungkan namanya sebagai sosok petani di daerahnya yang cukup berhasil dan  mengangkat citra Pemda Kabupaten Bangka Tengah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Dari itulah, dia pun hingga kini didaulat sebagai Ketua Gapoktan Alam Jaya Lestari sejak tahun 2008.
Dari masa itulah, langkah Suprapto dan Gapoktannya itu mengundang perhatian pemerintah daerah Kabupaten Bangka Tengah karena dipandang gaharu syarat dengan prospek bernilai ekonomis tinggi. Kepada mereka lah pemda memberikan perhatian khusus.
Prospek gaharu nyatanya tidak sebatas untuk dupa saja tetapi juga kini dijadikan sebagai bahan baku minyak wangi atau bahan induk parfum yang diproses lewat penyulingan. Untuk itu Suprapto setelah mengikuti pembinaan yang difasilitasi pemerintah daerah, dia dan anggota kelompoknya itu menerima bantuan satu unit mesin penyulingan, yang kini menjadi tumpuannya untuk memproduksi parfum gaharu.
"Ini minyak parfum yang sudah kita suling, satu mililiter saja harganya Rp. 250 ribu. Nah dalam satu botol kecil ini 6 mili berarti Rp 1,5 juta. Jadi ya lumayan kan," ujar Suprapto seraya menunjukan botol kecil berisi minyak wangi.
Suprapto menuturkan proses pembuatan minyak gaharu dimulai dengan melakukan penggilingan terhadap pohon gaharu dan kemudian dilakukan penyulingan yang dicampur dengan air panas. Bahan baku minyak gaharu tersebut berasal dari kubal atau bongkahan gaharu yang terpisah-pisah atau gaharu yang belum begitu matang di pohon. Untuk 20 kilo gram tanaman gaharu bisa menghasilkan minyak empat hingga lima mililiter.
Dari minyak gaharu itu, menurut pengakuan Suprapto bisa mengantongi uang  jutaan  rupiah dalam  satu bulanya hingga hitungan per tahun tentu saja mencapai puluhan juta rupiah. Selain olahan minyak wangi, dari gaharu pun  dia olah menjadi berbagai aksesoris, seperti gelang-gelang, dan tasbih dan handycraft lainnya.
Khusus untuk produksi penyulingan minyak gaharu, Suprapto mengakui keberhasilannya itu diantaranya berkat peran dan dukungan Pemkab Bangka Tengah. Lewat pembinaan dan bantuan mesin penyulingan dari Dinas Kehutanan dan Bappeda Bangka Tengah bahkan dari Kementrian Kehutanan. Minyak gaharu yang diproduksinya itu pun diakui Suprapto tidak saja diminati konsumen lokal tapi juga sempat terjual hingga ke Saudi Arabia.
Dari itulah menurut Suprapto prospek pasar minyak gaharu cukup menjanjikan karena merupakan induk minyak yang bisa dijadikan bahan baku untuk membuat parfum, obat dan bahkan alat-alat kecantikan.
Bertutur tentang budi daya gaharu, menurut Suprapto tidaklah serumit pemeliharaan seperti tanaman lada. Kalau sudah tumbuh, tumbuhlah dia, hanya awal-awalnya saja dipupuk. Bila tumbuh bersamaan dengan  tanaman karet, yang dipupuk hanyalah karet. Karena lewat sirkulasi kimia akan berimbas pula pada unsur hara tanah yang bisa menjadikan kesuburan dimana gaharu tumbuh.
Dari putaran waktu ke waktu yang sudah dilewatinya itu,  kiprah Suprapto menekuni budi daya gaharu dalam mengeksiskan jati dirinya sebagai petani adalah pilihan bagaikan tak lapuk oleh hujan tak lekang oleh panas. 

Komentar